Rabu, 21 Maret 2012

Aku Sungguh Ikhlas Ayah...


Aku Sungguh Ikhlas Ayah....


Malam semakin larut dan hening, menarik nafas dalam-dalam dan memposisikan diri dalam keadaan nyaman agar dimalam ini ia dapat tidur dengan lelap. Berdo’a kepada yang Mahakuasa agar esok hari lebih baik dari hari ini. Ia pun terlelap dan sampailah ia pada mimpinya, mimpi yang mengejutkan dan membuatnya gelisah. Ia pun terbangun seketika setelah mimpi itu usai. Dipikirkan dan disimpulkannya bahwa mimpi itu adalah wahyu dari sang Khalik. Dengan segera ia pun menyampaikan mimpinya kepada putra yang paling ia sayang yaitu Ismail as.
Dengan yakin bahwa putranya adalah putra yang sholeh, ia mengajak putranya untuk berbincang. Ia pun Ibrahim as berkata “Nak, ayah ingin menyampaikan mimpi yang ayah impikan tadi malam” dengan antusias Ismail as yang sudah beranjak dewasa pun duduk di samping ayahnya “apa yang ayah impikan sampai-sampai harus diperbincangkan denganku?”, dengan berat hati Ibrahim as pun memceritakan apa dan mengapa ia harus menceritakannya pada Ismail as dan tak disangka yang keluar dari mulut putranya itu adalah sebuah kalimat yang mulia, “Jika memang itu adalah perintah Allah kepada ayah, maka segeralah laksanakan dan jangan sampai ayah menundanya”. Subhanallah, putra Ibrahim as memang putra yang sholeh. Ismail as rela untuk disembelih oleh ayahnya bila itu adalah perintah Allah kepada ayahnya yang memang ayahnya itu adalah seorang Nabi dan Rasul Allah. Setelah mendengar apa yang dikatakan putranya hati Ibrahim as bergetar sungguh hebat dan hatinya menangis manatap putra yang paling ia sayang begitu tegar dan patuh terhadap orang tua dan perintahNya.
Berulang kali Ibrahim as bersyukur mempunyai putra seperti Ismail as. Tapi istri Ibrahim as yakni adalah ibu dari Ismail as merasa berat hati, berulang kali istrinya meyakinkan bahwa Ismail as itu adalah anak kesayangannya. Siti hajar menghampiri suaminya yang tengah duduk di ruang tamu, dan berkata “apakah kamu luas hati untuk menyembelih anakmu itu? Tiada lain adalah anakku juga” sebuah bisikan setanlah yang Siti Hajar lontarkan itu untuk merayu Ibrahim as agar tidak melaksanakan perintah Allah, tetapi Ibrahim as tidak menghiraukan apa yang dikatakan istrinya. Siti Hajar tidak menyerah, ia pun melanjutkan kalimatnya “Ingatkah waktu engkau sangat menginginkannya?” dengan matanya yang berkaca-kaca menandakan tangisnya hampir pecah. Memang Ismail as adalah anak yang Ibrahim as inginkan sejak dulu karena setelah umurnya yang semakin bertambah ia belum juga diberi karunia seorang anak sampai-sampai ia menikahi Siti Hajar dan berdo’a agar diberi anak oleh Allah SWT karena dari Istri yang pertama yaitu Siti Sarah belum kunjung juga mendapatkan seorang anak. Setelah menikahi Siti Hajar dan beberapa tahun setelahnya Ibrahim as bersama Siti Hajar diperintahkan oleh Allah pada waktu itu untuk hijrah dari kota yang hiruk pikuk ke sebuah gurun yang gersang dan jauh dari keramaian. Setelah hijrah dan terus berdo’a untuk mendapatkan seorang anak hingga lahirlah Ismail as yaitu seorang anak yang sekarang sangat ia sayang. Ibrahim as pun tersadar bahwa betapa panjangnya pengorbanan ia untuk mendapatkan anak,”dan sekarang?” dalam hati Ibrahim as berbisik,  ia harus merelakan anak itu. Siti Hajar tetap teguh bahwa anaknya jangan disembelih, “betapa besarnya pengorbananku untuk membesarkannya, ingatkah pada saat Ismail as lahir dan disini tidak ada air sama sekali? Sementara aku dan anakku kehausan”. Sambil mengingat pada saat itu di antara bukit yang gersang Siti Hajar berlari mondar-mandir untuk mencari air yakni dari Safa ke Marwah dan dari Marwah ke Safa, dan begitu seterusnya hingga pada ke tujuh kalinya ia menemukan air yang keluar dari pasir diantara kedua bukit itu dan dengan penuh harapan agar air itu menjadi banyak dan berkumpul lalu Siti Hajar membuat pasir digurun itu seperti sebuah wadah dan sambil berkata “zam…zam…zam…zam” berkumpulah air. Hingga air itu berkumpul banyak dan semakin banyak hingga saat ini dan betapa sedihnya jika saat Ismail as beranjak dewasa ia harus kehilangannya.
Tersadar dari lamunan masa lalu, Siti Hajar pun menyerah untuk membujuk suaminya karena setelah berulang kali Ibrahim as terus mengatakan “Istriku, ini adalah perintahNya yang harus dilaksanakan” walaupun Ibrahim as merasakan apa yang istrinya rasakan, sedih dan ada rasa tak rela. Istrinya pun pergi meninggalkan ruangan itu dengan tangisnya yang pecah. Ismail as yang tahu akan semua percakapan itu segera menghampiri ayahnya dan melontarkan sebuah kalimat “Ayah cepatlah laksanakan perintah itu, aku ikhlas apabila memang harus dirikulah yang diqurbankan, sebelum setan semakin jauh membujuk ayah untuk tidak melaksanakannya”, mendengar putranya berkata seperti itu Ibrahim as pun langsung beranjak dari duduknya dan menggali tanah di depan rumahnya. Setelah tanah yang digalinya sudah cukup ia pun mengambil benda tajam untuk menyembelih Ismail as, diasahnya benda itu dengan keadaan hati yang sedih tak terkira dan tiba-tiba Ismail as berkata “ayah, asahlah benda itu setajam mungkin agar saat ayah menyembelihku aku tidak terlalu lama menahan rasa sakit” terdengar suara Ismail as yang begitu jelas ditelinganya dan saat itu pula menangislah hatinya.
Setelah benda itu dirasa cukup tajam Ismail as pun menutup mata dengan posisi tidur di tanah. Ibrahim as dengan mata tertutup dan dengan benda tajam dilengannya lalu menyebut nama Allah “Bismillahi Allahu Akbar” ia menyembelih Ismail as. Dengan sesegera ia menggesekan benda tajam itu ke leher anaknya, setelah merasa anaknya sudah tak bernyawa karena ia sembelih saat itu juga ia duduk dengan lemas dan mulai membuka mata. Saat matanya terbuka dengan perlahan ia terperanjat dan merasa bersyukur melihat bahwa yang ia sembelih tadi bukanlah putra kesayangannya melainkan seekor kambing sedangkan putra yang sholeh itu ada disampingnya. Dengan seizin Allah, Allah mengganti Ismail as dengan seekor kambing karena saat itu Allah menguji seberapa besar ketaatan Ibrahim as dalam menjalankan perintah Allah tetapi saat ketaatannya sungguh-sungguh Allah tidak akan menyiksanya.
***

0 komentar:

Posting Komentar